Oleh: Henyk Widaryanti
Seorang anak ibarat mutiara bagi keluarganya. Kelahirannya dinanti, tangisnya membuat hati berseri. Mungkin benar cinta anak sepanjang galah, tapi cinta orang tua sepanjang jalan. Orang tua, dengan kasih sayang akan mengorbankan segalanya demi sang anak yang sangat dikasihi. Tak peduli terik, tak peduli hujan, segalanya dilalui.
Dengan pengorbanan yang begitu besar, masihkah layak hatinya tersakiti? Jerih payahnya tak dihargai. Apalagi saat orang tua telah lanjut usia. Masihkah kita tega untuk menghardiknya? Apa yang terjadi pada Kakek Koswara sangat menyayat hati. Hari tua yang indah seperti yang dicita-citakan tiba-tiba sirna, saat dilayangkan gugatan 3 Milliar kepadanya. Bukanlah siapa-siapa, si penggugat adalah anaknya sendiri. Bisa dibayangkan, bagaimana hati kakek Koswara dengan semua ini?
Semua berawal dari masalah tanah warisan. Tanah yang sebenarnya masih menjadi hak kakek Koswara dan saudaranya. Saat tanah itu ingin dibagi dengan cara menjualnya, ternyata sang anak tak menyetujuinya. Alasannya karena ia sudah membangun toko kelontong dan menyewa tanahnya. Atas alasan itu, si anak pun nekat menggugat orang tuanya ke pengadilan.
Sangat disayangkan, anak yang dulu disayangi kini malah menyayat hati. Anak yang dulu ditimang kini malah membangkang. Inikah potret anak yang berbakti? Teringat kisah Malinkundang si anak durhaka, ia dikutuk sang ibu karena tak mengakui ibunya. Sakit hati sang ibu, membuat anak berubah menjadi batu. Mungkin ini yang disebut ridho Allah tergantung ridho orang tua.
Mendengar kisah ini, teringat dengan Seth Godin. Dia seorang penulis buku The Dip. Dalam bukunya Godin menjelaskan tiga jenis kurva. Ada kurva the dip, the culdesak dan the cliff. Istilah sederhananya, kalau kurva the dip itu adalah gambaran bagi seseorang yang memiliki cita-cita tinggi. Dia perlu usaha dan pengorbanan yang besar untuk meraih cita-citanya.
Beda lagi dengan kurva culdesak. Sebuah kurva stagnan, yang menjelaskan hari ini sama dengan hari kemarin, dan hari ini juga sama dengan hari esok. Bisa dibilang orang yang selalu stagnan adalah orang yang rugi. Tak akan mendapatkan apa-apa. Ujung-ujungnya penyesalan saja.
Kalau kurva the cliff lebih parah lagi. Kurva yang menjelaskan kenikmatan di awal, tapi hasilnya tidak baik. Ia malah mendapatkan kerugian. Biasanya orang seperti ini hanya mau yang instan saja. Tak menghiraukan apa akibat yang akan diterima.
Kalau dipadukan dengan cerita anak di atas, kira-kira akan cocok ditempatkan di kurva mana ya? Masih ingatkan dengan hadits yang menyatakan ridho Allah tergantung ridho orang tua?
“Ridha Allah tergantung ridha kedua orang tuanya dan murka Allah tergantung murka keduanya.” (HR. Thabrani)
Anak yang baik imannya, yang memahami hakikat orang tua, ia tidak akan salah dalam bersikap. Ia akan hidup dengan mengandalkan ridho Allah. Jika ia mengetahui bahwa Allah akan meridhoi manakala orang tua telah ridho, maka ia akan berupaya berbakti pada orang tuanya. Sesulit apapun, seorang anak akan merawat, menyayangi, dan senantiasa memenuhi kebutuhan orang tuanya. Bahkan ia akan menahan untuk berkata “ah” walau saat itu hatinya tersakiti oleh kata-kata orang tuanya.
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” (QS. Al-Israa’ : 23-24).
Anak yang rela mengabdi pada orang tuanya, demi meraih ridho Illahi akan rela menjalani semua prosesnya. Meski sangat berat baginya, ia tetap tabah menekuni diri sebagai anak yang berbakti. Tapi insyaAllah anak itu akan mendapatkan ridho Allah. Kebahagiaan dunia dan akhirat. Inilah tipe anak yang cocok disandingkan dengan kurva “the dip”.
Lantas bagaimana dengan dua kurva setelahnya? Ini adalah gambaran anak-anak yang hanya ingin nikmatnya saja dengan cara menikmati harta peninggalan orang tua. Mereka berani menghardik orang tua, bahkan membuang orang tuanya ke panti jompo atau menelantarkan mereka. Lebih parah lagi jika ada yang berani memenjarakan, menggugat mereka hanya karena tidak terima atas perlakuan tertentu.
Tentu, orang tua akan tersakiti dengan tingkah anak yang seperti ini. Mereka tidak akan memaafkan, kecuali anak-anak itu benar-benar menyesal. Jika hal ini terjadi, masihkah tipe anak seperti ini layak mendapatkan ridho Allah SWT? Karena sungguh, keridhoan Allah akan berpengaruh pada barokah hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Jika Allah tidak ridho, bagaimana mau masuk SurgaNya? Mungkin jika disandingkan dengan kurva “the cliff”, anak-anak macam ini sangat cocok sekali. Menikmati kebahagiaan dunia fana tanpa ridho orang tua, ujung-ujungnya di akhirat tak selamat selama-lamanya.
Godin juga menyampaikan bahwa kekuatan atau keistiqomahan bakti seorang orang juga dipengaruhi oleh lingkungan. Sistem yang mendukung, baik masyarakat maupun negara akan otomatis membuat anak memahami kedudukan orang tuanya. Dengan suasana iman di masyarakat, membuat anak memahami peran utamanya dan bagaimana berlaku pada orang tua. Ditambah lagi negara mendukung dengan sistem pendidikan, ekonomi, sanksi, dan pemerintahan yang berlandas keimanan, anak akan terjaga dari faham-faham materialis. Dalam benaknya ia hanya ingin mencari ridho orang tua dan ridho Allah SWT. Wallahu’alambishowab. (rf/voa-islam.com)