Dahulu berpuluh tahun lalu… Bertanyalah engkau pada 10 anak Indonesia, maka setidaknya separuh dari mereka
akan berkata: “Aku ingin seperti Habibie!”. Ayahku pun demikian. Sosok Habibie selalu menjadi sebutan, untuk melecut anak-anaknya menjadi ilmuwan. “Jadilah seperti Habibie, Nak!” begitulah pesan ayahku. Sebuah pesan yang aku yakin, menggema pada banyak dinding rumah, pada sebuah negeri bertajuk: Indonesia!
Habibie… Nama Tuan sudah terlanjur menjadi lambang. Lambang untuk segala yang disebut kecerdasan. Untuk segala yang diungkap kecendekiawanan. Bahkan, untuk sebuah jalan hidup bernama kesetiaan. Kesetiaan pada negaramu, saat semua tahu Tuan dihadapkan pada pilihan yang menggiurkan, Tuan memilih Indonesia.
Kesetiaan pada sebuah cinta. Saat para pejabat negeri sibuk berzina, menghabiskan uang rakyat dan negara, mengkhianati kesucian ikatan cinta, maka Tuanku Habibie, engkau adalah pria sejati yang sesungguhnya. Habibie… Tuan adalah presiden terindah di negeri ini. meski hanya sesaat, Tuan buktikan diri sebagai negarawan sejati, yang berkelindan selamatkan negeri dari segenap pengkhianat berjiwa kurcaci.
Dan akhirnya, Tuanku pun berakhir sebagaimana manusia. Berujung pada kefanaan, dan berpulang hanya dengan bekal amalan. Aku bersaksi, Tuanku… Engkau adalah manusia shalih penuh kebajikan. Meski tiada seinsan pun yang luput dari kesalahan. Maka untuk itu, aku mohonkan pada Tuhanku Sang Maha Pengampun: “Ampunilah hamba-Mu, Burhanuddin Jusuf Habibie…”
Habibie… Allah telah selamatkan Tuanku, dari carut-marut negeri yang mengacau: anak-anak negeri diadu, dan para pemimpin hanya bisa meracau. Semoga Allah merahmatimu, Tuanku…
Akhukum, Muhammad Ihsan Zainuddin