Makna penting penyederhanaan birokrasi terdapat pada tekanan untuk membangun efektifitas dan efisiensi birokrasi, serta fungsionalitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam konteks demikian, sering kita temui pandangan tentang struktur dan fungsi birokrasi yang mengedepankan perlunya perampingan (donwsizing), pendek (flattening), kaya fungsi, dan menuju organisasi dengan jenjang kendali pendek (delayering). Pendek kata, penyederhanaan birokrasi yang sedang digerakkan diharapkan membangun birokrasi yang melandai dan profesional. Dalam kaitan demikian, konsep dua level birokrasi diharapkan mampu segera diwujudkan.
Wacana dan langkah perubahan niscaya diiringi tantangan dan harapan. Di balik hal demikian, yang juga tidak kalah penting adalah tolok ukur keberhasilan wacana dan langkah perubahan yang dilakukan. Idealnya, bukan pada seberapa banyak penyederhaan itu berhasil dilaksanakan, tapi seberapa efektif dan efisien kebijakan tersebut memiliki dampak positif (M Badar Hamid, 2021).
Salah satu tantangan yang mengiringi adalah perlunya memaknai fungsionalitas jabatan. Dengan menjadi fungsional, SDM diharapkan menjadi individu yang profesional dan berdaya saing. Meskipun lebih mudah diwacanakan daripada dilaksanakan, hal demikian menjadi keniscayaan yang menjadi tantangan bersama. Pasalnya, informasi dan data statistik terkait hal demikian mudah didapatkan dan dipelajari bersama.
Data United Nations Development Program (UNDP) mengenai kondisi Human Development Index (HDI) secara global dapat dijadikan acuan. Statistik UNDP mengenai kualitas SDM Indonesia menunjukkan kecenderungan naik-turunnya peringkat dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia menempati peringkat 116 (2018), 111 (2019), dan 107 (2020). Dalam lingkup ASEAN, data statistik UNDP tahun 2020 menunjukkan Indonesia berada di bawah Singapura (11), Brunei Darussalam (47), Malaysia (62), dan Thailand (72). Peringkat Indonesia setaraf Filipina dan berada di atas Vietnam (117).
Rendahnya kualitas SDM Indonesia berakibat pada mutu daya saing negara secara global. Peringkat daya saing Indonesia menurut statistik World Competitiveness Ranking (WCR) tahun 2020 yang dilansir International Institute for Management Developmet (IMD) menunjukkan peringkat Indonesia yang menempati ranking 40 dari 63 negara yang menjadi objek kajian. Capaian dan data WCR ini sejalan dengan statistik HDI, dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand yang berada di ranking lebih tinggi dari Indonesia.
Lebih jauh, data WCR juga menyajikan konteks ranking efisiensi layanan pemerintah. Dalam penjelasan lebih rinci, Indonesia mengalami penurunan ranking, yakni dari 25 (1999) menjadi 31 (2020). Dilihat secara sub faktor ranking, penurunan ini terkondisikan dari akumulasi skor menaiknya kebijakan pajak (6) yang cukup baik, namun mengalami penurunan signifikan pada layanan dukungan regulasi yang menunjang dunia bisnis (50), dalam konteks yang lebih spesifik dan sering ditemui adalah proses perizinan bisnis.
Secara umum, pandemi Covid-19 menjadi faktor yang efektif menjadi tantangan mendasar kualitas SDM dan daya saing bangsa. Hal demikian menjadi afirmasi umum kedua statistik tersebut. Meskipun salah satu konteks mikronya adalah buruknya penilaian perizinan bisnis yang dijalankan yang berakibat pada rendahnya ranking efisiensi layanan pemerintah, benang merah kedua statistik tersebut adalah rendahnya kualitas SDM dan layanan publik.
Sementara itu, dalam upaya pengembangan organisasi publik dan sejalan dengan amanah birokrasi yang efektif-efisien dan SDM yang profesional, dikenal adanya strategi sumber daya (resource support strategy) dan strategi kelembagaan organisasi (institutional strategy). Jika strategi sumber daya merujuk pada upaya untuk memaksimalkan sumber daya esensial guna meningkatkan kinerja organisasi, strategi kelembagaan berupa inisiatif untuk membangun kemampuan organisasi dalam melakukan inisiatif dan terobosan stratejik.
Dikatakan secara luas, organisasi dan SDM yang berada di dalamnya harus adaptif dan antisipatif terhadap perkembangan dan tantangan yang berkembang. Namun disadari, globalitas dan tantangan pandemik menjadi pekerjaan rumah bersama. Dengan paradoks demikian, para pemerhati organisasi publik mengatakan bahwa “globalization is going nowhere, despite the current panic.” Tantangan kekinian dalam rupa-rupa kendala, disrupsi, dan perubahan tetap membayangi di tengah segala susah dan sulitnya pandemi dan segala dampaknya.
Meskipun demikian, hal-hal tersebut tetap harus dihadapi dan diselesaikan, betapapun kondisi panik dan berat yang tengah dihadapi bersama. Seturut semangat demikian, perubahan menuju birokrasi yang efektif-efisien dan SDM yang profesional adalah faktor penting menuju perubahan birokrasi yang lebih baik.
Bergerak dalam Tantangan dan Perubahan
Konsekuensi logis dari perampingan birokrasi dan fungsionalisasi jabatan menuju SDM yang profesional kiranya adalah membangun organisasi yang mampu belajar (learning organization) untuk seterusnya menjadi organisasi yang adaptif dan kreatif. Kemampuan dan kemauan untuk belajar dibutuhkan sebagai, meminjam pandangan Henri Bergson (1907), elan vital, sebagai daya cipta dan daya ungkit terpenting dalam merespons dinamika tantangan dan perubahan.
Dalam konteks demikian, semua pihak rasanya perlu mengingat kembali perspektif lima faktor penting organisasi pembelajar sebagaimana yang disampaikan oleh Peter Senge dalam The Fifth Discipline (1990). Senge menyebutkan bahwa organisasi harus dapat mendorong anggotanya (SDM) untuk terus beradaptasi, menghadapi (dan memberikan solusi) tantangan dan perkembangan yang ada. Dalam misi demikian, Senge mengidentifikasi lima modal penting yang dibutuhkan organisasi dan SDM di dalamnya untuk bergerak dan merespon tantangan yanga ada. Kelimanya adalah sistem berpikir, penguasaan pribadi, model mental, penjabaran visi bersama, dan tim belajar.
Lima disiplin pandangan Senge dalam konteks manajemen perubahan penyederhaan birokrasi tentu memerlukan langkah penjelasan dan perwujudan yang tidak sederhana. Perubahan yang dijalankan terkait erat dengan cara pandang (mindset) dan budaya (culture) yang telah biasa berlaku. Namun demikian, nilai esensial dari organisasi pembelajar (learning organization) adalah sikap keterbukaan dan aktif. Di samping berbagai nilai positif lain yang dilahirkan dari organisasi pembelajar, sikap keterbukaan menjadi dasar penting untuk mewujudkan kerja bersama (co-working).
Jika perspektif birokrasi melandai adalah kondisi lain dari kesetaraan dan profesionalitas, maka kerja bersama menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari penyederhanaan birokrasi yang dimaksud. Dengan sikap demikian, langkah untuk terus menerus meningkatkan kapasitas dalam konteks menciptakan hasil yang diinginkan organisasi patut dijalankan secara optimal.
Kesediaan untuk “belajar”, pada makna dasarnya, adalah juga berupa kesediaan untuk tidak menjadi purna dalam menilai kapasitas diri. Beragam disrupsi dan kebutuhan organisasi berkembang dan selalu menyesuaikan perubahan yang ada. Tanpa adanya kesediaan untuk adaptif, fleksibel, dan inovatif pada perubahan --sebagai nilai dasar belajar—yang terjadi, penyederhanaan birokrasi dan fungsionalisasi jabatan rasanya akan menghadapi tantangan yang lebih berat.
Saiful Maarif (JFT Asesor SDM Aparatur Kementerian Agama)